Jangan Abaikan Ketimpangan Akses Pendidikan Tinggi

Oleh: Fazri Mohehu . 8 Mei 2025 . 12:00:00

Prof. Dr. Muh. Amier Arham, M.E--Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNG

Secara konseptual pemerintah memiliki political will untuk meningkatkan mutu SDM lewat pembiayaan dengan mengalokasikan anggaran setidaknya 20 persen dalam APBN/APBD. Sehingga sektor pendidikan diletakkan dalam kotak spending mandatory bersama dengan sektor kesehatan, karena keduanya memang menjadi variabel penentu menciptakan human capital. Dimana human capital atau akumulasi sumber daya manusia memainkan peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Dari segi pembiayaan, spending mandatory bidang pendidikan masih terjaga, sekalipun dalam prakteknya agar mencapai minimal 20 persen disiasati dengan mengakumulasi seluruh anggaran yang beririsan dengan program pendidikan, termasuk di dalamnya pembiayaan pendidikan kedinasan yang melekat pada kementerian penyelenggara di luar Kementerian Pendidikan. Bahkan unit cost setiap student body pada sekolah kedinasan lebih besar ketimbang unit cost yang didapatkan oleh siswa atau mahasiswa pendidikan reguler. 

Selain itu, besaran alokasi anggaran yang bersifat mandatory tidak seluruhnya digunakan untuk pembiayaan secara langsung untuk peningkatan kualitas pendidikan, apalagi untuk perluasan layanan bagi seluruh lapisan masyarakat. Sehingga pembiayaan pendidikan lewat dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) belum mencukupi, apalagi untuk dana BOS sekolah vokasi. Di tengah langkah pemerintah melakukan pergeseran anggaran (istilah pemerintah efisiensi), sektor pendidikan tak luput menjadi “korban”, praktis pembiayaan tidak hanya menyasar kegiatan rapat, perjalanan dinas dan belanja non produktif lainnya, tetapi unit cost untuk kegiatan penunjang kegiatan akademik di sekolah maupun perguruan tinggi juga mengalami pemotongan yang cukup signifikan. 

Di lingkungan perguruan tinggi sangat terasa, biaya operasional perguruan tinggi dipangkas setengahnya dari anggaran tahun sebelumnya, kondisi ini memaksa pimpinan perguruan tinggi melakukan pengurangan biaya pelaksanaan tri darma perguruan tinggi, khususnya kegiatan penelitian dan pengabdian. Padahal tugas utama perguruan tinggi mengembangkan ilmu pengetahuan lewat riset, dengan menyusutnya anggaran riset untuk jangka panjang akan berdampak terhadap terhambatnya pengembangan inovasi. Padahal Indonesia sendiri terbilang negara dengan alokasi riset paling kecil terhadap PDB, yakni 0,3 persen jauh di bawah Singapura (2 %), Malaysia (1 %). Terbatasnya anggaran riset di perguruan tinggi tidak dibarengi dengan penyesuaian target kinerja, maka tentu ini menjadi beban bagi perguruan tinggi. Kondisi ini diharapkan tidak berlanjut, harapannya pemerintah dapat segera melakukan relaksasi anggaran agar mutu layanan satuan pendidikan pada semua level tidak menurun. Dan sejatinya pemerintah wajib menempatkan pendidikan sebagai sektor prioritas baik dari segi kebijakan maupun supporting anggaran yang memadai, termasuk kegiatan riset. 

Adanya efisiensi tentu juga berimbas pada Bansos PIP (KIPK), kendati tidak mengalami penurunan kuota penerima, akan tetapi terjadi perubahan skema yang hanya memprioritaskan penerima PIP lanjutan dengan menyasar keluarga kategori desil 1 – 3. Padahal masih banyak yang memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, namun terkendala biaya. Mereka ini adalah keluarga yang terdaftar dalam DTKS, atau layak menjadi penerima KIPK tetapi kuota yang tidak mengalami kenaikan dari periode sebelumnya. Misalnya mahasiswa UNG yang lulus SNBP sebanyak 1.993 mahasiswa, dan pelamar KIPK yang eligiable sebanyak 1.210 mahasiswa, artinya 60 persen yang dinyatakan lulus di UNG adalah mereka yang memiliki kemampuan akademik baik, namun kemampuuan ekonomi orang tuanya lemah. Dengan kuota nasional terbatas, perguruan tinggi diminta untuk melakukan verifikasi faktual (verifal), bahwa yang mendapatkan beasiswa KIPK adalah mereka yang sebelumnya penerima PIP ditingkat SMA. Akhirnya yang lolos verifal hanya 675 mahasiswa, selebihnya ada kemungkinan tidak dapat meraih impian untuk mengecap bangku kuliah, kalaupun sebagian tetap lanjut pada akhirnya pembayaran uang kuliah tunggal berada pada kelompok rendah. Tentu berdampak terhadap PNBP bagi perguruan tinggi sekaligus berimplikasi pada perbaikan dan peningkatan sarana serta peningkatan mutu layanan. 

Padahal lewat akses pendidikan tinggi merupakan jalan lebar untuk memperbaiki ekonomi keluarga, dan ini sejalan yang dikemukakan oleh Rolleston (2011) dimana tingkat pendidikan memainkan peran signifikan dalam menentukan kesejahteraan rumah tangga, dan bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki manfaat yang relatif lebih besar untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarga. Ironisnya lebih dari separuh lulusan SLTA belum dapat mengakses pendidikan tinggi karena keterbatasan biaya, peluang kerja bagi merekapun terbatas, akibatnya pengangguran terbuka menurut tingkat pendidikan didominasi oleh lulusan SLTA. Kondisi ini makin memperlebar ketimpangan akses pendidikan, bagi mereka yang berkesempatan mengecap pendidikan tinggi memiliki peluang yang lebih besar memilih pekerjaan dan pendapatan yang layak, dan yang tidak memiliki kesempatan mengecap pendidikan tinggi kehilangan peluang meningkatkan pendapatan keluarga.

Ketimpangan akses pendidikan dengan sendirinya berkontribusi terhadap ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia.  Leeuwen dan  Földvári  (2017) dalam artikelnya The Development of Inequality and Poverty in Indonesia, menyebutkan bahwa rendahnya akses pendidikan berdampak terhadap meningkatnya ketimpangan sehingga mengakibatkan penurunan kemiskinan makin melambat.

Oleh karena itu daerah-daerah yang memiliki persentase angka kemiksinan tinggi, seperti Gorontalo penurunan angka kemiskinan makin landai dikarenakan ketimpangan distribusi pendapatan (gini ratio) tinggi. Berbeda situasinya pada awal berdirinya Gorontalo sebagai provinsi otonom, distribusi pendapatan cenderung lebih rendah sehingga penurunan angka kemiskinan cukup akselaratif (double digit) selama satu dekade dari 32 persen menurun hingga 16 persen. Fakta ini menguatkan hipotesis  Bourguignon (2003) dalam papernya The Poverty-Growth-Inequality Triangle, bahwa pertumbuhan dan perubahan ketimpangan memainkan peran utama dalam pengurangan kemiskinan. Sepanjang pertumbuhan tidak inklusif dan distribusi pendapat masih lebar, angka kemiskinan makin sulit dientaskan kendati telah banyak program digelontorkan. 

Untuk memperbaiki kondisi tersebut, perlu ada intervensi pemerintah daerah yang bersifat afirmatif terhadap pembiayaan pendidikan, khususnya di lingkungan perguruan tinggi. Bagi keluarga dengan tingkat pendapatan pas-pasan, sudah barang tentu memiliki hambatan untuk menjangkau akses pendidikan tinggi di luar daerah. Maka perguruan tinggi di daerah menjadi harapan dan tumpuan, pemerintah daerah perlu hadir mengulurkan tangan membantu kemajuan perguruan tinggi, karena Pemda acapkali lupa bahwa keberadaan perguruan tinggi di daerah memiliki andil yang cukup besar mendorong perputaran ekonomi, misalnya di Gorontalo kehadiran dan perkembangan UNG yang pesat menjadi magnet untuk menarik orang datang ke Gorontalo. Tak satupun instansi (lembaga) yang dapat mendatangkan ribuan orang masuk ke Gorontalo selain perguruan tinggi (UNG). 

Afirmasi pembiayaan pendidikan oleh Pemda dapat menduplikasi bantuan sosial PIP (KIPK) yang dijalankan oleh pemerintah pusat, dengan memprioritaskan pada daerah dengan tingkat APM perguruan tinggi yang rendah, seperti Kabupaten Boalemo, Kabupaten Pohuwato, Kabupaten Gorontalo Utara. Ketiga daerah ini rata-rata akses perguruan tinggi diukur dari APM PT baru mencapai masing-masing 13,85 persen, 16,23 persen dan 17,93 persen jauh di bawah rata nasional dan provinsi. Data ini juga mengkonfirmasi bahwa daerah dengan APM PT rendah, terbilang capaian angka kemiskinannya tinggi. Pengalokasian KIPK ala Pemda dari APBD tidak terlalu memberatkan fiskal daerah, karena rerataan UKT penerima KIPK di UNG sebesar 2,4 juta. Maka selama empat tahun (delapan semester) alokasi KIPK sebesar 19.200.000 per student body, jika sasarannya sebanyak 100 orang saja maka hanya sekitar 1,9 miliar selama empat tahun atau setara 480 juta per tahun. Anggaran sebesar itu tidak akan mengganggu kesinambungan fiskal daerah. 

Apabila masing-masing daerah (6 kabupaten/kota) mengalokasikan dengan menyasar keluarga yang kurang mampu untuk diberi beasiswa sebanyak 100 orang, akan lahir 600 sarjana setiap tahun, belum dihitung alokasi dari pemerintah provinsi. Pemberian beasiswa KIPK ala Pemda ini penting dalam rangka mempercepat peningkatan mutu SDM dan memperbaiki ketimpangan distribusi pendapatan, sekaligus untuk mencapai poverty zero di tahun 2045. Amartya Sen (pemenang Nobel Ekonomi tahun 1998) dalam bukunya Inequality Reexamined (1992) yang menekankan pentingnya entitlement kaum poor untuk bisa masuk ke lembaga pendidikan dengan tujuan memerangi kemiskinan. Semoga ini menjadi atensi pemerintah daerah!!

Agenda

26 - 28 Maret 2024

Asesmen Lapangan Pendirian Program Studi Doktor Ekonomi

Asesmen Lapangan Pendirian Program Studi Doktor Ekonomi

16 November 2023 - 7 Desember 2024

Pemilihan Dekan Fakultas Ekonomi

Pemilihan Dekan Fakultas Ekonomi Periode 2023 - 2027

19 - 21 Oktober 2023

TEMAN 10

Temu Masyarakat Akuntansi Multiparadigma Indonesia Ke-10

31 Juli - 02 Agustus 2023

Pra Kongres APE-LPTK Tahun 2023

Pra Kongres APE-LPTK Tahun 2023 akan di laksanakan di Hotel Aston Kota Gorontalo, Tanggal 31 Juli - 2 Agustus 2023