Jadi Mahasiswa Baru: FOMO atau Tetap Tenang

Oleh: Fazri Mohehu . 25 April 2025 . 07:00:00

Andi Juanna--Pengajar Jurusan Manajemen FEB UNG

Menjadi mahasiswa adalah momen besar dalam kehidupan banyak orang. Namun di balik rasa bangga dan semangat memulai babak baru, terdapat satu hal yang sering tidak disadari: FOMO atau Fear of Missing Out.

FOMO adalah suatu istilah yang baru dan sangat bersesuaian dengan konteks manajemen pemasaran, yakni bagaimana strategi komunikasi dan promosi dapat menciptakan persepsi bahwa suatu produk, layanan, atau bahkan pilihan-pilihan seperti kampus atau jurusan tertentu adalah sesuatu yang wajib dimiliki agar tidak merasa tertinggal dari yang lain.

Dalam dunia pemasaran, FOMO dimanfaatkan untuk mendorong konsumen mengambil keputusan cepat karena takut kehilangan kesempatan. Hal yang sama kini juga terlihat dalam dunia pendidikan: kampus dengan citra bergengsi, jurusan dengan prospek kerja tinggi, atau cerita kesuksesan alumni yang viral di media sosial dapat membentuk “nilai jual” yang memengaruhi calon mahasiswa untuk ikut memilih hal yang sama, meskipun belum tentu sesuai dengan kebutuhan atau potensi diri mereka.

Tercatat bahwa pengangguran lulusan perguruan tinggi mencapai angka 5,18%, dengan jumlah pengangguran sebanyak 945.413 orang. Selain itu, tingkat putus kuliah di Indonesia juga cukup tinggi, yaitu sebesar 4,02%, yang setara dengan 375.134 orang mahasiswa yang meninggalkan perkuliahan. Angka-angka ini menunjukkan adanya tantangan besar dalam dunia pendidikan tinggi, di mana meskipun pendidikan tinggi memberikan peluang lebih baik di pasar kerja, tidak sedikit lulusan yang kesulitan menemukan pekerjaan. Selain itu, fenomena putus kuliah juga memperlihatkan bahwa sejumlah mahasiswa memilih untuk menghentikan studi mereka, yang bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti ketidakmampuan finansial, kurangnya motivasi, atau bahkan ketidaksesuaian antara jurusan yang diambil dengan minat atau karier yang ingin dikejar.

Meskipun tingkat pendidikan yang lebih tinggi seharusnya meningkatkan peluang kerja, kenyataannya banyak lulusan SMA dan Perguruan Tinggi yang masih menghadapi kesulitan dalam mencari pekerjaan. Fenomena ini bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah FOMO, yang mendorong banyak individu untuk terus melanjutkan pendidikan atau bergabung dengan tren tertentu tanpa mempertimbangkan secara matang prospek pekerjaan yang akan didapatkan setelahnya.

FOMO juga dapat berkontribusi pada angka putus kuliah, terutama di kalangan mahasiswa perguruan tinggi. Ketika banyak orang merasa tertekan untuk mencapai standar tertentu atau mengikuti tren populer yang sedang berlaku di media sosial, mereka cenderung melanjutkan pendidikan meskipun mereka tidak sepenuhnya siap atau tidak sesuai dengan minat dan kemampuan mereka. Hal ini dapat mengarah pada keputusan untuk berhenti kuliah karena merasa tidak cocok dengan jurusan yang dipilih, atau merasa semakin tertekan dengan perbandingan hidup yang terjadi di media sosial, yang menciptakan kecemasan akan masa depan. Akibatnya, individu yang terjebak dalam siklus FOMO dapat kehilangan arah, menyebabkan peningkatan jumlah pengangguran, dan bahkan merugikan kesejahteraan mental mereka.

Media Sosial dan Tekanan Lingkungan: Siapa yang Sebenarnya Mengendalikan Pilihan Kita?

Media sosial memiliki pengaruh besar dalam membentuk cara pandang generasi muda terhadap makna kesuksesan. Unggahan teman yang berhasil masuk kampus ternama, lengkap dengan foto almamater dengan warna kuning, merah, ungu, biru, atau merah maron disertai ucapan selamat dari banyak orang, secara tidak langsung membangun ekspektasi bahwa kita juga harus mencapai hal yang sama agar dianggap berhasil.

Tidak hanya dari media sosial, tekanan juga datang dari lingkungan terdekat seperti orang tua, teman sebaya, hingga guru di sekolah. Orang tua kerap kali mendorong anak untuk memilih jalur yang dianggap “aman” atau “paling menjanjikan”, tanpa benar-benar melihat minat anak. Teman-teman mungkin juga secara tidak langsung menciptakan budaya kompetisi yang menyamar sebagai motivasi. Bahkan guru pun sering tanpa sadar menetapkan standar tertentu, seolah-olah hanya ada satu jalan menuju masa depan yang cerah. Padahal, pilihan yang diambil karena ingin memenuhi harapan orang lain atau sekadar mengikuti tren belum tentu sejalan dengan potensi diri.

Saat keputusan diambil bukan berdasarkan keinginan dan pemahaman pribadi, yang muncul justru kebimbangan dan tekanan batin di kemudian hari. Maka penting bagi setiap calon mahasiswa untuk mengambil jeda sejena, mengenali diri sendiri, dan berdiskusi secara terbuka dengan orang-orang terdekat agar keputusan yang diambil benar-benar mencerminkan keinginan dan arah hidup yang diinginkan, bukan sekadar ikut arus.

Dampak FOMO: Bimbang, Tidak Bahagia, dan Penyesalan

Ketika seseorang memilih jurusan atau kampus hanya karena takut tertinggal dari teman-temannya, bukan karena benar-benar mengenali dirinya sendiri, maka yang muncul bukan semangat, melainkan kebingungan. Di awal mungkin terasa membanggakan saat mengenakan jaket almamater dari kampus ternama, tetapi seiring berjalannya waktu, akan muncul rasa hampa jika apa yang dipelajari ternyata tidak sesuai minat. Penyesalan sering kali datang karena menyadari bahwa keputusan awal diambil bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk memuaskan ekspektasi orang lain.

Dampak jangka panjang dari FOMO bukan hanya soal akademik, tetapi juga emosional. Ketika kita terus membandingkan diri dengan pencapaian orang lain, kita kehilangan ruang untuk berkembang sesuai ritme dan jalur kita sendiri. Padahal, yang lebih penting dari sekadar nama kampus atau jurusan adalah bagaimana kita mengembangkan diri—terutama dalam hal karakter dan keterampilan hidup. Di sinilah peran soft skill menjadi kunci untuk bertahan dan tumbuh, tidak peduli dari mana pun kita berasal.

Soft Skill sebagai Bekal Masa Depan

Di tengah persaingan yang semakin ketat, memiliki gelar atau berasal dari kampus ternama bukan lagi satu-satunya penentu keberhasilan. Dunia kerja kini semakin menghargai individu yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki soft skill yang kuat. Kejujuran, loyalitas, kemampuan berkomunikasi, hingga sikap bersahabat menjadi “nilai tambah” yang sangat dicari oleh banyak perusahaan.

Soft skill mencerminkan karakter dan sikap seseorang dalam bekerja sama, menghadapi masalah, dan beradaptasi dengan lingkungan. Mahasiswa yang bisa diandalkan, jujur dalam menyelesaikan tugas, dan loyal terhadap tanggung jawabnya, akan lebih mudah diterima di berbagai tempat—baik dalam dunia kerja, organisasi, maupun dalam relasi sosial. Hal-hal ini tidak bisa didapat hanya dari bangku kuliah, tetapi harus dilatih sejak dini lewat pengalaman, pergaulan yang sehat, serta kemauan untuk terus berkembang sebagai pribadi.

Sebagaimana dikatakan oleh Laszlo Bock (Head of Operations Google), “GPA is worthless as a criteria for hiring. We found that they don’t predict anything.” Pernyataan ini mempertegas bahwa IPK tinggi tidak menjamin seseorang memiliki kinerja yang baik dalam dunia kerja nyata. Yang lebih penting adalah bagaimana seseorang berpikir kritis, menyelesaikan masalah, serta mampu bekerja dalam tim dan bersikap profesional.

Agenda

26 - 28 Maret 2024

Asesmen Lapangan Pendirian Program Studi Doktor Ekonomi

Asesmen Lapangan Pendirian Program Studi Doktor Ekonomi

16 November 2023 - 7 Desember 2024

Pemilihan Dekan Fakultas Ekonomi

Pemilihan Dekan Fakultas Ekonomi Periode 2023 - 2027

19 - 21 Oktober 2023

TEMAN 10

Temu Masyarakat Akuntansi Multiparadigma Indonesia Ke-10

31 Juli - 02 Agustus 2023

Pra Kongres APE-LPTK Tahun 2023

Pra Kongres APE-LPTK Tahun 2023 akan di laksanakan di Hotel Aston Kota Gorontalo, Tanggal 31 Juli - 2 Agustus 2023