Prof. Dr. Fahrudin Zain Olilingo, SE, M.Si--Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri Gorontalo, Ketua Forum Rumah Ekonomi Rakyat.
Kemiskinan merupakan sesuatu yang tidak habis-habisnya dibicarakan karena menyangkut kehidupan manusia juga secara kodrati di dunia ini Tuhan selalu menciptakan sesuatu berpasang-pasangan yaitu ada siang ada malam, ada besar ada kecil, ada susah ada senang demikian pula ada kaya pasti ada yang miskin. Masalah kemiskinan selain tidak habis habisnya dibahas juga menarik menjadi bahan diskusi karena berkaitan dengan kesuksesan suatu pemerintahan dalam melaksanakan programnya untuk pengentasan kemiskinan.
Dari besaran angka kemiskinan dapat diketahui apakah suatu pemerintahan telah berhasil melaksanakan amanah rakyat atau tidak dalam pengentasan kemiskinan. Secara etimologis kemiskinan berasal dari kata “Miskin” yang artinya tidak berharta benda dan serba kekurangan. Departemen Sosisal dan Biro Pusat Statistik mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak ( BPS dan Depsos, 2012). Secara lebih rinci penentuan kemiskinan digunakan angka Garis kemiskinan (GKM) dimana untuk mendeteksi seseorang termasuk miskin atau tidak dideteksi jumlah pendapatannya dengan mengukur jumlah pengeluarannnya baik konsumsi makanan yang setara dengan 2.100 kalori maupun pengeluaran non makanan.
Untuk daerah Gorontalo pada September 2024 GKM sebesar Rp. 595.24.- per kapita per bulan. Secara periodik BPS melakukan survey menentukan pergerakan prosentase kemiskinan dari waktu ke waktu. Seorang ahli ekonomi bernama Ragnar Nurkse tahun 1953 telah mendeteksi pergerakan prosentase kemiskinan pada beberapa negara berkembang dan menyimpulkan bahwa ada negara yang sangat sukar keluar dari wilayah kemiskinan yang disebutnya sebagai terperangkap dalam kemiskinan (vicious cycle). Perangkap kemiskinan menggambarkan kondisi masyarakat yang memiliki produktifitas rendah, berakibat pada pendapatannya rendah sehingga tabungan rendah, pendidikan rendah, derajat kesehatan rendah, investasi rendah akhirnya berdampak kembali pada produktifitas rendah dan pendapatan rendah.
Negara yang terperangkap dalam kemiskinan sangat sukar menetapkan kebijakan yang benar benar bisa memotong perangkap sehingga negara yang bersangkutan terbebas dari jeratan kemiskinan. Misalnya untuk meningkatkan produktufitas dikeluarkan kebijakan untuk meningkatkan pendidikan maupun dengan memberikan bantuan pemberdayaan dan lain-lain sebagainya namun semuanya gagal karena angka kemiskinan penurunanya tidak siknifikan. Dalam tulisan ini ingin disimak pergerakan kemiskinan di Provinsi Gorontalo apakah sudah masuk dalam perangkap atau tidak. Sesuai publikasi data statistik pergerakan prosentase kemiskinan di Provinsi Gorontalo dapat disimak pada tabel berikut:
Dari data di atas selama kurun waktu 14 tahun pergerakan penurunan kemiskinan di Gorontalo relatif kecil dibawah 1 % per tahun. Oleh karena itu BPS tahun 2024 merilis daerah Gorontalo masih masuk urutan ke 5 daerah termiskin di Indonesia setelah Provinsi Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Barat dan Maluku. Dengan demikian ada kecenderunagan daerah ini sudah masuk dalam perangkap kemiskinan. Semua kebijakan yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir seperti pendidikan gratis, kesehatan gratis pemberian bantuan langsung maupun tidak langsung tidak mampu menurunkan angka kemiskinan secara signifikan.
Perlu pengkajian yang lebih mendalam tentang efektifitas paket kebijakan pengentasan kemiskinan mungkin hanya bersifat mengobati ketimbang menghilangkan penyebabnya, atau kebijakan cenderung hanya memberikan ikan daripada memberikan kail untuk menangkap ikan. Adi Sasono (1998) melihat kemiskinan dari dua sudut padang yaitu karena struktural dan kultural. Sudut pandang struktural karena daerahnya memang miskin kebijakan apapun susah untuk diterapkan seperti negara-negara di kawasan Afrika yang memang daerahnya kering dan tandus. Dari sudut pandang ini Gorontalo termasuk daerah yang cukup memiliki potensi hanya dibutuhkan kebersamaan dan efektifitas pemanfaatan potensi yang ada. Hingga saat ini belum terjadi pergeseran secara struktural peran sektor-sektor ekonomi terutama peran sektor industri terhadap PDRB.
Kita perlu mengingatkan pemerintak untuk lebih transparan, konsisten, komitmen baik dalam mengungkapkan data maupun program yang akan dilakukan dalam pengentasan kemiskinan. Terutama harus transparan dalam mengungkap data riil produksi dan bahan baku industri sehingga investor memiliki kepastian dalam merencanakan usahanya. Sudut pandang kedua menurut Adi Sasono adalah faktor kultural karena budaya miskin seperti malas, pasif, hidup subsisten untuk hal ini dikalangan masyarakat masih menimbulkan perdebatan.
Apakah petani atau nelayan benar-benar malas? Waktu yang mereka curahkan dalam melakukan aktifitas sebagai petani maupun nelayan lebih dari cukup. Hasil pengamatan di lapangan yang kurang adalah disiplin mereka dalam menerapkan teknologi budidaya baik dalam pengaturan pupuk, air maupun persyaratan teknis lainnya dalam meningkatkan produksi. Demikian pula peran pemerintah perlu dimaksimalkan dalam hal pemecahan masalah sehingga tidak hanya menjadi retorika politik dalam pengentasan kemiskinan.
Asesmen Lapangan Pendirian Program Studi Doktor Ekonomi
Pemilihan Dekan Fakultas Ekonomi Periode 2023 - 2027
Temu Masyarakat Akuntansi Multiparadigma Indonesia Ke-10
Pra Kongres APE-LPTK Tahun 2023 akan di laksanakan di Hotel Aston Kota Gorontalo, Tanggal 31 Juli - 2 Agustus 2023